Pajak  

Upaya Pengadilan Pajak dalam Menyelesaikan Sengketa Pajak di Negara Indonesia

black click pen on white paper

Sah!- Sengeketa pajak di Negara Indonesia masih terjadi antara wajib pajak dengan aparat pajak dan Pengadilan Pajak berwenang untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

Di tambah lagi pada bidang perpajakan sering kali masih ditemukan konflik-konflik yang disebabkan oleh aparatur pajak dengan wajib pajak.

Salah satunya disebabkan oleh perbedaan mengenai jumlah pembayaran wajib pajak yang terjadi dan tidak menimbulkan kesepakatan antara dua pihak tersebut (aparatur pajak dan wajib pajak). Perbedaan tersebut tentunya mampu menimbulkan persengketaan di bidang pajak.

Dalam hal ini negara semestinya berperan untuk memberi perlindungan hukum untuk menangani sengketa pajak.

Sekarang, pengadilan pajak bertempatkan di Kota Jakarta. Ketua Pengadilan Pajak berwenang untuk memindah tempat sidang di mana pun walaupun kedudukan pengadilan pajak ada di Kota Jakarta.

Namun, hal ini dapat memicu timbulnya suatu kendala bagi wajib pajak apabila lokasi tempat tinggal mereka jauh dari lokasi persidangan.

Misalnya ialah wajib pajak di Papua akan terkendala apabila akan melaksanakan banding mengenai Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP) yang diterbitkan oleh Kantor Layanan Pajak di Papua.

Kendala tersebut ada di faktor biaya dan dan waktu. Maka dari itu, pemerintah harus memperhatikan efisiensi jarak dan biaya di daerah-daerah atau maksimal ada di ibu kota provinsi.

Sebenarnya faktor ketidakhadiran pemohon banding (penggugat) bukanlah suatu kewajiban. Namun, tidak hadirnya penggugat tersebut dalam sidang dapat menimbulkan kerugian tersendiri dalam dirinya.

Dengan ini sebab aparat pajak dapat seleluasa untuk menjawab segala pertanyaan dari hakim di tambah tidak ada sangkalan dari pemohon banding (penggugat).

Namun di sisi lain apabila pihak penggugat memaksakan untuk menghadiri sidang ke Jakarta maka wajib pajak dapat mengeluarkan biaya-biaya pengeluaran hidup di Jakarta walaupun hanya sebentar.

Kendala terkait dengan sengketa pajak di Pengadilan Pajak ialah mengenai syarat adanya sanksi administratif sebesar 100%. Denda tersebut diberlakukan apabila terjadi penolakan atau pengkabulan sementara banding dari penggugat (wajib pajak).

Hal mengenai ini tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Namun, di dalam Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 berbunyi “Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 60% dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayarkan sebelum mengajukan keberatan”.

Akan tetapi, sanksi yang diterapkan ini cukup berbeda dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mana mengutamakan penanganan konflik pajak dengan prinsip keadilan, cepat, murah, dan sederhana.

Sanksi tersebut juga nampaknya tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang menganut peradilan yang sederhana, cepat, dan mengedepankan efisiensi biaya.

Beberapa wajib pajak mungkin ragu dengan adanya sanksi administrasi yang ditetapkan sebab adanya ancaman sanksinya berwujud denda.

Kesempatan terbuka bagi wajib pajak untuk menempuh jalur hukum di pengadilan pajak atas sengketa pajak yang sudah terjadi dapat dilaksanakan selagi sudah melaksanakan tata cara sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Apabila seorang wajib pajak kurang puas dengan hasil keputusan dari upaya keberatan yang diajukan, wajib pajak dapat melakukan upaya banding ke pengadilan pajak.

Banding merupakan upaya hukum yang dapat dilaksanakan oleh penggugat yakni wajib pajak mengenai keputusan sebelumnya dan berdasar atas aturan hukum mengenai pajak.

 Mengenai prosedur atau tata cara untuk mengajukan banding seperti yang tertuang dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002. Persyaratan yang harus dipenuhi di antaranya adalah sebagai berikut:

  1.     Harus mengajukan surat banding dengan menggunakan bahasa Indonesia.
  2.     Dilaksanakan dalam rentang waktu hingga 3 bulan terhitung dari tanggal kapan keputusan terkait diterima.
  3.     Harus mengajukan alasan yang jelas.
  4.     Memberikan keterangan tanggal surat keputusan terkait diterima.
  5.     Mencantumkan lampiran surat keputusan terkait.

Adapun cara yang dapat ditempuh oleh wajib pajak selain upaya banding ialah penyelesaian sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak.

Wajib pajak dapat mengajukan gugatannya seperti amanat yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 yang berbunyi “Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku”.

Pengajuan gugatan harus ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu, wajib pajak hanya bisa menyerahkan gugatannya ke Pengadilan Pajak dan termuat alasan-alasan megajukan gugatan sengketa pajak terkait.

Adapun wajib pajak juga harus memberikan lampiran berupa salinan dokumen mengenai gugatan yang akan diajukan tersebut.

Jangka waktu untuk mengajukan gugatan mempunyai dua rentang waktu yang tidak sama, di antaranya:

  1. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan mengenai pelaksanaan dan penagihan pajak, yakni 14 hari terhitung dari tanggal kapan pelaksanaan dan penagihan pajak terjadi.
  2. Jangka waktu untuk megajukan gugatan terkait keputusan yang syaratnya terpenuhi untuk diajukan, yakni 30 hari terhitung dari tanggal kapan gugatan terkait keputusan yang syaratnya terpenuhi untuk diajukan tersebut diterima.

Keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir. Namun, apabila penggugat (wajib pajak) merasa kurang puas dengan keputusan tersebut, maka bisa menempuh upaya hukum luar bisas yakni Peninjauan Kembali (PK).

Pasal 89 sampai dengan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 menjelaskan mengenai upaya hukum berupa peninjauan kembali yang pengajuannya dilaksanakan satu kali ke MA lewat Pengadilan Pajak.

Pengajuan peninjauan kembali dapat ditempuh dengan berdasar atas alasan-alasan seperti yang tertuang dalam Pasal 91 Undang-Undang Nomor 14 Tahun, di antaranya:

  1. Apabila keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Pajak siafatnya berbohong atau terdapat upaya tipu muslihat yang baru diketahui dari pihak lawan (tergugat) pasca dikeluarkannya putusan.
  2. Apabila baru diketahui bukti tertulis lainnya yang mana jika bukti tersebut diserahkan dapat menjadikan dikeluarkannya keputusan baru dari Pengadilan Pajak.
  3. Apabila terdapat keputusan yang mengabulkan tuntuta yang tidak diajukan / lebih dari yang diajukan. Namun, ada pengecualian seperti yang tertuang dalam Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c yakni “mengabulkan sebagian atau seluruhnya dan menambah Pajak yang harus dibayar”. 
  4. Apabila terdapat bagian dari tuntutan yang belum diputus dengan tidak melakukan pertimbangan terkait alasannya.
  5. Apabila keputusan yang dihasilkan telah terbukti tidak sesuai dengan aturan yang berlaku dalam Peraturan Perundang-Undangan. Perlu diketahui juga bahwa pengajuan peninjauan kembali tidak menyebabkan dihentikannya atau ditundanya atas pelaksanaan putusan oleh Pengadilan Pajak.

 

Demikianlah artikel yang membahas mengenai upaya Pengadilan Pajak untuk menyelesaikan sengketa pajak di Negara Indonesia berdasarkan perspektif Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Sah! menyediakan layanan berupa pengurusan perizinan pajak termasuk juga untuk mengajukan PKP dengan biaya terjangkau dan proses lebih mudah. Langsung saja hubungi WA 0856 2160 034 atau dapat kunjungi laman Sah.co.id.

 

Source:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2022 tentang Pengadilan Pajak

https://publish.ojs-indonesia.com/index.php/SINOMIKA/article/view/1471/916

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *